SUMPAH SAYA PEMUDA


sumber gambar: https://selayarnews.com/18/04/2025/mursalin-daeng-mamangung-dari-kepulauan-hingga-panggung-nasional/ 

Refleksi 97 tahun Sumpah Pemuda. 

"Pergilah kamu ke Neraka bersama bantuanmu itu". begitu kata Bung Karno ketika menolak tawaran bantuan Ekonomi dari Presiden Amerika diwaktu itu.

Dwight isonhower Presiden Negara digdaya tersebut dibuat tak berdaya oleh Bung Karno hanya Karena Salah dalam membangun komunikasi efektif, komunikasi politik dengan Presiden yang negaranya baru saja merdeka itu. Pasalnya pada tahun 1960, USA yang merupakan King blok barat dalam perang dingin dengan blok timur yang dibekingi Uni Soviet, berusaha merangkul negara-negara lain untuk memperkuat posisinya. Indonesia termasuk didalamnya walaupun baru merdeka, dengan nilai tawar tinggi, kekayaan alam melimpah, penduduk padat,dan sikap politik bebas aktif atau Non blok yang menggetarkan dunia.

Maka diundanglah Bung Karno ke Amerika, dan disinilah awalnya. Bung Karno tidak disambut di airport dan lebih parahnya, sesampainya di gedung putih masih tidak disambut oleh Presiden USA dan bahkan dibiarkan menunggu selama satu jam. Maka murkalah Bung Karno!!. Untuk melunakkan hati sang proklamotor itu, Presiden USA menawarkan bantuan ekonomi. 

Dan bantuan pelunak hati itu dijawab indah "Bawalah bantuan anda ke Neraka". kalimat singkat tetapi mengguncang dunia, wibawa bangsa, harga diri, diatas segalanya.

Di Selayar lain lagi, negeri terselatan dari Sulawesi selatan ini, yang baru "merdeka" dengan otonominya pada tahun 1958, Pemuda Muhammadiyah bersama rakyat dalam Komando Kiyai Haji Hayyung & Rauf rahman, berjibaku dengan Sepupu-Sepupu Presiden  Dwight (Sekutu), yang menyebabkan Syahidnya (InsyaAllah) Paus Ramabosa. Puncaknya di 14 Februari 1946 di lapangan Pemuda Benteng kini.

Mereka para Pemuda yang bukan hanya mengusir Teroris Kolonialis imperialis Belanda, tapi juga kaum Pribumi Veodalis Karya Kompeni, dan atheisme Cikal bakal komunis kelak nanti.

Sekaligus mereka adalah Pemuda-Pemuda tauhid, tentara-tentara sunnah yang kesatria nan perwira. Penegak panji-panji Islam. Dengan semangat tajdid dan Tauhid Itulah Bung tomo membakar semangat Pemuda-Pemuda Surabaya, pemuda Ambon, Borneo, Selebes, Sumatra, dan Pemuda-pemuda lain di Nusantara ini termasuk I Pangali' Sultan daeng Raja. 97 tahun lalu, para pemuda berikrar untuk mati demi NKRI, meninggalkan ego apapun. Agama, suku, dan golongan, demi satu tujuan. Indonesia berdaulat, menyembah Tuhan yang Sama, Tuhan yang Maha Esa, dan berkeadilan dalam aspek kehidupan, Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Setelah hampir 100 tahun,tentu kita tak menemukan lagi pemuda-pemuda itu. Bahkan jejaknya pun hampir hilang, tetapi mereka telah menunaikan janji bakti, pada Ibu pertiwi. Adapun kini, apa kabar pemuda milenial??

Meminjam istilah Bung Hardin, Ketua Kokam Pemuda Muhammadiyah Selayar, "Sumpah saya pemuda". Benarkah? Pemuda tempo dulu yang terkader, tertarbiyah, di Masjid-masjid, di organisasi, bukan di warkop sambil judi online. Bukan berarti warkop bermasalah dikotomi dengan Masjid. Justru mengapa Warkop tidak ada di Masjid dan Masjid tidak ada warkop?. Mengapa tidak ada pustaka di Masjid, Masjid di Pustaka, pustaka di Warkop, gym di Masjid, Masjid di gym. Kalo perlu lapangan Bola di Masjid, Masjid dilapangan bola?. Padahal tidak ada yang harom diantara semuanya, Kecuali judol.

sumber gambar: https://nasional.kompas.com/read/2018/10/28/06360091/sejarah-sumpah-pemuda-tekad-anak-bangsa-bersatu-demi-kemerdekaan?page=all

Kalau memang pemuda itu ada, kemana mereka? dan apa saja yang mereka lakukan?. Apakah muncul nanti moment politik Pilkada, atau moment joged ria di Party-party sudut kampung yang sunyi  lagi terpencil, dimana mereka terhibur nanti setelah ada mantenan?. 

Sumpah saya pemuda, yang mageran karena gelar Sarjana yang merasa ternoda kalau kerja tapi bukan ASN, BUMN, atau Karyawan. Dimana jadi Petani, pedagang, berbasis teknologi bukan jenis pekerjaan yang prestisius.

Sumpah saya pemuda yang Setiap tahun menambah beban Negara, masuk daftar pengangguran yang menunggu penganggaran Negara dalam menjalani nasib, sebagai penambah daftar beban Negara yang dihasilkan Kampus tiap tahun setelah Wisuda yang membagongkan itu.


Reportase: M. Ishaq mattoali.

Editor: Sitti Nur Jannah.







Lebih baru Lebih lama