| Mustafa - Mahasiswa S2 Islamic Social Finance, Institut Agama Islam SEBI (Photo: Istimewa) |
Sangpencerah.web.id | OPINI, - Kedermawanan masyarakat Indonesia terus berkembang seiring menguatnya peran teknologi dalam kehidupan sosial. Laporan World Giving Index (WGI) 2024 dari Charity Aid Foundation (CAF) kembali menempatkan Indonesia sebagai negara paling dermawan di dunia. Capaian membanggakan ini tentu bukan terjadi tanpa alasan, melainkan mencerminkan karakter sosial masyarakat Indonesia yang kuat dalam kepedulian dan memiliki kegemaran berdonasi. Selain itu, pesatnya perkembangan media digital saat ini membuka ruang interaksi sosial yang lebih luas sekaligus memudahkan masyarakat berdonasi, termasuk menunaikan zakat, infak, dan sedekah secara cepat dan praktis. Kendati demikian, transformasi ini juga memunculkan sebuah ekspektasi baru yang menuntut adanya timbal balik dari lembaga pengelola donasi. Pada titik inilah, lembaga filantropi termasuk di dalamnya Lembaga Amil Zakat (LAZ) seakan ditantang balik untuk memanfaatkan teknologi secara optimal guna menunjukkan integritas serta memperkuat akuntabilitas agar pengelolaan dana umat berlangsung lebih responsif, transparan, dan terpercaya.
Data dari Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) tahun 2024 menunjukkan bahwa pengumpulan zakat nasional mencapai Rp40,509 triliun, dengan partisipasi penyampaian laporan sebesar 93,77%. Namun hasil pelaporan tersebut masih menuai sorotan dan tanda tanya besar, utamanya mengenai masalah transparansi dan akuntabilitas. Merujuk pada hasil survei Indonesia Philanthropy Outlook 2024 menemukan bahwa 22,6% laporan keuangan lembaga pengelola dana sosial masyarakat belum bisa diakses secara publik. Data ini menunjukkan bahwa tidak semua pelaporan dapat diakses dengan mudah dan terbuka. Situasi ini seakan menyiratkan sebuah pesan bahwa kemudahan berdonasi di era digital dan keterbukaan informasi publik tidak berbanding lurus dengan praktik transparansi dan akuntabilitas pelaporan lembaga pengelolanya.
Harapannya, kemajuan teknologi digital dapat dengan mudah memperlihatkan data rincian aktivitas penghimpunan, biaya operasional amil, dan aktivitas penyaluran serta dampak sosial yang ditimbulkan. Masalahnya, tidak semua Lembaga Amil Zakat (LAZ) mampu atau bersedia memanfaatkan potensi kemajuan teknologi ini secara optimal. Selain itu, publik menduga bahwa sebagian lembaga masih memandang transparansi sebagai formalitas administratif jika hanya dilaporkan secara tahunan. Sehingga belum bisa dikatakan bahwa pelaporannya menjadi sebuah budaya kerja dan komitmen moral kepada masyarakat secara serius.
Anomali atau kesenjangan dapat diatasi jika LAZ serius membangun budaya keterbukaan yang menyeluruh. Untuk mengatasi kesenjangan ini, diharapkan lembaga filantropi dan LAZ perlu melakukan transformasi secara internal yang lebih serius dalam hal transparansi dan akuntabilitas pelaporan dana sosial yang dikelolanya. Langkah konkret yang dapat ditempuh antara lain penerapan dashboard digital secara real-time, menampilkan infografik dan aktivitas penyaluran, serta menyampaikan publikasi dampak sosial secara berkala berbasis data yang mudah diakses oleh publik kapan dan di mana saja. Selanjutnya, dalam aktivitasnya dapat dilakukan audit independen dengan melibatkan stakeholder masyarakat yang dapat dijadikan tradisi dalam LAZ secara rutin. Dengan demikian, kepercayaan masyarakat dapat tumbuh lebih kuat seiring dengan semangat keterbukaan informasi di era digital. Transparansi yang semakin baik akan memastikan bahwa ekspektasi publik terhadap pengelolaan dana sosial dapat dipenuhi secara lebih profesional, akuntabel, dan bermartabat.
Penulis : Mustafa