Ketika Narasi "Kita Vs Mereka" Membunuh Akal Sehat

Photo Ilustrasi berpikir kritis

Sangpencerah.web.id | OPINI, -- Di tengah ekonomi yang semakin sulit, seperti naiknya harga, dan lapangan kerja yang menyempit, seringkali membuat kita menjadi cemas dan lebih mudah mendapatkan penjelasan sederhana. Narasi populis yang bekerja nyaris sempurna, menekan dua tombol paling sensitif di otak manusia yaitu ketakutan dan kecemasan akan masa depan.

Satu pola komunikasi yang semakin sering digunakan para influencer, politisi, dan figur publik di berbagai negara. Pola yang sederhana, tapi mematikan: narasi “kita versus mereka.” Begitu pola ini bekerja, yang pertama mati adalah kemampuan kita berpikir kritis. beberapa diataranya adalah:

Narasi yang menyalakan emosi, mematikan logika

munculnya "pahlawan-pahlawan karbitan" (palsu/sensasional), menawarkan jawaban yang sangat sederhana untuk masalah kompleks. Yang pertama, tidak membahas ekonomi, kebijakan, atau struktur melainkan membahas Yahudi, SJW (Sosial justice warior), imigran Cina, elit global, oligarki. Siapa pun dipilih sebagai kambing hitam. Yang kedua, musuh bersama, yang membuat kita lupa akar persoalan sebenarnya. tidak lagi fokus soal sistem dan kebijakan, tapi “kelompok itu.” dan ketiga adalah Janji penyelamat, yang datang dengan retorika.

Apabila ketiganya digabungkan, maka akan menyebabkan otak kritis manusia padam. hal ini seringkali membuat kita berhenti bertanya “Apa solusinya?” dan cenderung fokus pada “Siapa musuhnya?”

Penggunaan algoritma sebagai bahan bakar yang menyulut polarisasi

Media sosial yang memperparah situasi. Algoritma YouTube, TikTok, atau X tak peduli benar atau salah. Yang mereka pedulikan hanya engagement.

hidup dalam goa digital yang hanya memantulkan keyakinan sendiri, bukan hanya kehilangan sudut pandang lain, kita juga menjadi lebih agresif terhadap yang berbeda. Bahkan seringnya, kita tak membaca argumen orang, cukup lihat judul, lalu serang komentarnya.

Populisme modern: mengulang pola lama

Penggunaan narasi yang sama dan memainkan rasa takut dan marah audiensnya, contohnya “pekerja keras” versus “mereka” (elit korup, media, imigran cina, atau negara lain). Dan pola ini kemudian dipakai di mana-mana, termasuk di platform digital.

Jebakan pemikiran yang membuat kita buta

Ketika terpikat narasi populis, ada beberapa jebakan yang biasa menjerat yakni, merasa paling pintar dan paling benar. Figur populis, cenderung mengakibatkan pengikutnya merasa eksklusif dan superior. Semua yang tidak sependapat, otomatis dicap bodoh, asing, atau bahkan pengkhianat. Begitu merasa paling benar, pintu diskusi tertutup. Debat Bukan Lagi Soal Argumen, Tapi Serangan Pribadi. Alih-alih membantah data, yang diserang adalah karakter lawannya (julukan, aib lama, atau insinuasi). Hal ini menyebabkan publik pun ikut larut dalam ad hominem tanpa sadar. 

Kecenderungan membenarkan tindakan buruk demi “kebaikan bersama” Perilaku kasar, penyebaran hoaks, atau manipulasi dijustifikasi, merupakan logika yang sangat berbahaya. Sejarah menunjukkan betapa mudahnya cara seperti ini menjadi legitimasi tirani. Pemimpin yang Selalu Memposisikan Diri Sebagai Korban, juga menjadi salah satu penyebab. Kritik disebut sebagai “serangan terkoordinasi,” memposisikan diri sebagai martir. Membuat pengikut semakin fanatik.

Lalu bagaimana agar tidak menjadi loyalis yang buta?. Beberapa langkah sederhana untuk melindungi akal sehat :

Pertama, perhatikan metode, bukan hanya pesannya. Pesan bisa terlihat benar, tapi metodenya?. Apakah ia merendahkan lawan?, atau hanya menutup ruang debat? dan menyederhanakan isu kompleks?

Kedua, membedakan kritik terhadap argumen dan serangan personal. Jika figur panutanmu cenderung lebih suka menyerang orang daripada idenya, itu tanda bahaya.

Ketiga, melawan rasa superior. Jika sebuah konten membuat Anda merasa “lebih pintar dari yang lain,” itu justru saatnya waspada, bukan bangga.

Keempat, mencari Pandangan yang Berbeda. Setiap kali mendapat opini A, cari opini B dan C. Terkadang hal yang sering tidak kita sadari bahwa perdebatan itu sendiri tidak penting untuk diikuti. Hanya menghabiskan energi yang bisa lebih berguna jika digunakan untuk belajar atau bekerja.

Dan kelima, tidak ada manusia yang 100% rasional. Bahkan ilmuwan jenius pernah salah. Apalagi hanya figur publik yang kita tonton di internet.

Di era digital, berpikir kritis menjadi kemampuan yang langka dan mahal. Bukan karena kita bodoh, tetapi karena teknologi dan retorika populis bekerja sangat efektif untuk memanipulasi emosi.

Kritis itu bukan cuma hak, tapi Juga Tanggung Jawab. Tulisan ini bukan untuk menggurui, melainkan sebagai pengingat. Jangan menyerahkan akal sehat kita kepada figur yang mem-branding diri sebagai paling kritis, paling tahu, atau paling benar. Karena tujuan akhirnya bukan mencari idola, tetapi menjadi pribadi yang bisa berpikir mandiri. Bahkan ketika seluruh dunia mendorong kita untuk memilih “kubu.”- A. Rusman.

Lebih baru Lebih lama